Friday 28 January 2011

TEORI MODERN SOAL PEMBINAAN KEPRIBADIAN SISWA

Di dalam pergaulan dan percakapan sehari-hari, tidak jarang kita mendengar dan bahkan menggunakan kata pribadi atau kepribadian itu, tanpa memikirkan lebih lanjut apa arti yang sesungguhnya dari kata-kata itu. Ucapan seperti; ini adalah pendapat “pribadi” saya. Nabi kita Muhammad saw memang memiliki “kepribadian” yang tangguh dan mempesona. Adik saya yang baru berumur enam tahun memilki “pribadi” yang lemah dan gampang menangis, dan lain sebagainya.
Banyaknya orang yang mengatakan ini menunjukkan Pribadi dan kepribadian itu merupakan sebuah kata yang merujuk pada individu seseorang yang berdiri sendiri terlepas dari individu yang lain. Biasanya dikaitkan dengan pola-pola tingkah laku manusia yang berhubungan dengan norma-norma tentang baik dan buruk. Atau dengan kata lain “pribadi dan kepribadian” itu dipakai untuk menunjukkan adanya cirri-ciri khas yang ada pada diri seseorang.[1]
Terlepas dari masalah yang tak kunjung relai ini, kata “kepribadian” menurut Koswara (dalam Alex Sobur) berasal dari bahasa latin: persona. Sejarahnya, kata ini menunjuk pada topeng sandiwara di zaman Romawi kuno dalam memainkan peranan-peranannya sesuai dengan topeng yang dikenakannya. Lambat laun,kata persona ini menjadi sebuah istilah yang mengacu pada gambaran sosial tertentu yang diterima oleh individu di masyarakat, kemudian dari individu ini diharapkan bisa memainkan peranannya dalam hidup sesuai dengan gambaran sosial yang diterimanya.[2]
Apabila dilihat dari kacamata islam, sebenarnya manusia di bumi ini berperan sebagaimana (hamper sama) yang diungkapkan oleh Koswara diatas, lazimnya dalam Al-Quran disebut sebagai khalifah. Sesungguhnya kehidupan manusia di bumi ini memerankan sebuah drama kehidupan, di dalamnya diciptakan kehidupan dan kematian agar kita sebagai manusia bisa berlomba-lomba meraih peran  yang terbaik, dan akhirnya memiliki peranan tokoh terbaik dalam drama kehidupan. Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS. Al-Mulk : 2 di bawah ini
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”[3]
            Kenyataan ini didasarkan karna manusia dalam memerankan peranannya tidak mempelajari terlebih dahulu peran apa yang akan dijalankannya dan akan memerankan aktor apa, antagonis atau pentagonis (seperti yang terjadi dalam film). Namun, peranan yang ditanggung manusia adalah berupa “peran pilihan” yang bisa dipilih oleh manusianya sendiri secara bebas, tetapi terdapat konsekwensi yang harus ditanggung sendiri sebagai akibat dari peran yang ia pilihnya. Hal ini amat berbeda dengan memerankan tokoh sinetron yang alur filmnya diawali terlebih dahulu  di awal permainan, sedangkan peranan aktor kehidupan cara kita mempelajarinya ialah ketika sedang berjalan mengarungi kehidupan, pastinya dalam melaksanakannya mengalami trial dan eror.[4]
Berdasarkan peranan gambaran sosial ini, kepribadian mempunyai makna yang kompleks. Bahwa, kepribadian mencakup berbagai aspek dan sifat-sifat fisik maupun psikis dari seorang individu, seperti; motif, sikap, sifat, temperamen, kesehatan, intelijensi, nilai-nilai (values), perasaan dan peranannya dalam masyarakat. Oleh sebab itu, sukar oleh para ahli merumuskan dengan tepat, jelas dan mudah dimengerti, sebagaimana perkataan ahli psikologi sendiri, Herman sebagaimana yang dikutip Monks, knoers, dan Haditono (dalam Alex Sobur), berpendapat bahwa :
Pengertian kepribadian yang masih bersifat teoritis ini, yang juga dapat disebut masih bersifat contruct, sangat kabur definisinya. ….sebaiknya definisi ini diberikan setelah dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut ketimbang diberikan sekarang.[5]

Dari keadaan ini, kita membutuhkan sejenis kerangka acuan untuk memahami dan menjelaskan tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kita membutuhkan teori-teori tentang tingkah laku, teori-teori tentang kepribadian. Disebutkan dalam Psikologi Umum, diantara teori-teori tentang kepribadian adalah sebagai berikut:[6]
a)      Teori kepribadian Psikoanalisis.
Dalam teori ini intinya ada tiga sistem yang membangun manusia yaitu id, ego dan super ego. Pengertian Id adalah nafsu yang bekerja menggunakan prinsip kesenangan, mencari pemuasan segera, impuls biologis; Ego adalah keadaan dalam jiwa yang memathi prinsip realita, menunda pemuasan sampai bisa dicapai dengan cara yang diterima masyarakat, dan Superego adalah hati nurani atau keadaan jiwa yang memiliki standar moral pada individu. Dalam hubungan ketiganya Id merupakan keadaan jiwa yang selalui ingin cepat dislurkan (berupa naluri seksual dan agresif). Sementara Ego berfungsi untuk mempertimbangkan realitas di dunia luar sebelum menampilkan prilaku tertentu. Selanjutnya Superego berupa larangan yang menghambat naluri-naluri itu.
b)     Teori-teori Sifat
      Teori ini meliputi psikologi individu (yang dikembangkan oleh Gordon Williard Allport), psikologi kontitusi (William Shaldon) dan teori Faktor (Raymond Cattel). Ketiga teori ini menyatakan bahwa manusia memiliki sifa-sifat tertentu, yakni kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu.
Bagi Allport, sifat adalah sesuatu yang sesungguhnya eksis, namun tidak terlihat, dan letaknya berada dalam syaraf. Meskipun tidak dapat dilihat, ia dapat dirasakan kehadirannya dengan merasakan konsistesi seseorang. Sedangkan Shaldon, mengatakan “sebenarnya seseorang memiliki tiga komponen fisik yang berbeda menurut derajat dan tingkatannya masing-masing.” Menurutnya pula merupakan suatu studi mengenai aspek-aspek psikologis dari perilaku manusia yang berkaitan dengan morfologi dan fisiologi tubuh. Konstitusi merupakan aspek dalam diri manusia yang menetap, seperti bentuk dan struktur tubuh manusia. Dalam pandangan ini, secara lebih rincinya adalah sebagai berikut; “Kepribadian terletak di balik tindakan tertentu dalam individu, dan sistem yang menyusun kepribadian dalam segala hal adalah kecenderungan yang menentukan”.
Mengenai  teori faktor oleh Rymond Cattell, memberikan sebuah ilustrasi menganai hal ini dengan memberikan nama teknik bagi faktornya yang terdengar agak aneh seperti; affectia vs sizia. Ia juga memberikan label yang lebih dikenal seperti; ramah vs tidak ramah. Sebagaian faktor lain adalah stabil-emosional, dominan-tunduk, dan imaginative-praktis. Lebih rincinya sebagai berikut “kepribadian adalah apa yang menentukan prilaku dalam situasi yang ditetapkan dan dalam kesadaran jiwa yang ditetapkan”
c)      Teori kepribadian behaviorisme.
Teori ini dikembangkan oleh Skinner, menurutnya; penelitian tentang kepribadian melibatkan pengamatan yang sistematis dan sejarah belajar yang khas, serta latar abelakang genetis yang unik dari inidividu. Menurutnya, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah laku melalui belajar. Individu merupakan suatu point atau kedudukan yang faktor-faktor yang khas secara bersama-sama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang khas pula pada individu tersebut.
d)     Teori psikologi kognitif.
Teori ini memandang manusia berupa element-element kesadaran satu sama lain terkait dalam lapangan kesadaran (kognisi). Dalam teori ini, unsur psikis dan fisik tidak di pisahkan lagi, karna keduanya masuk dalam wadah koginisi manusia. Bahkan dari teori ini, faktor-faktor dari luar diri dapat dimasukkan dalam wadah kognisi kesadaran manusia.
Menurut Ida Hanif Mahmud dan Hanifudin Mahadun dalam bukunya Bedah otak, berpendapat; bahwasannya Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai system yang menentukan dengan caranya sendiri yang khas dalam menyesuaikan diri dalam lingkungannya.[7]
Dalam pandangan filsafat, William Stern berpendapat; “kepribadian adalah suatu kesatuan yang banyak (unita multi complex) yang diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sifat khusus individu, yang bebas menentukan dirinya sendiri.”[8]
Menyikapi banyaknya pendapat para ahli tersebut, intinya merumuskan dengan berbagai macam rumusan yang memiliki tujuan sama, diantaranya ialah dinamis, tidak statis. Ia menunjukkan tingkah laku yang terintergrasi dan merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bawaan yang ada pada individu dengan lingkungannya. Ia bersifat psikofisik, yang berarti baik factor jasmaniah maupun rohaniah bersama-sama memegang peranan dalam kepribadian. Ia juga bersifat unik, artinya; kepribadian seseorang sifatnya khas, mempunyai cirri-ciri tersendiri yang membedakannnya dari individu yang lain.[9]
2. Pengertian Siswa (anak didik)
 Abudin Nata dalam buku Filsafat Pendidikannya, menjelaskan bahwasannya anak didik atau siswa adalah makhluk yang sedang berproses menuju perkembangan dan pertumbuhan menuju fitrahnya masing-masing. Dan mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan yang dimiliki fitrahnya.[10] Dilihat dari definisi ini, anak didik (siswa) hanya dijadikan sebagai objek dari pendidikan yang mana tugasnya hanya diberi dan menerima asupan-asupan pengetahuan (transfer) dari sang guru. Hal ini tidak sesuai dengan pandangan kekinian yang menyatakan anak didik (siswa) tidak hanya dijadikan obyek atau sasaran pendidikan melainkan juga ia amat berperan dalam pelaksanaan pendidikan (subjek pendidikan) dengan banyak melibatkan mereka untuk  memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Berdasarkan pandangan diatas,  anak didik dapat definisikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan, bimbingan dan pengarahan, yang dalam pandangan islam ilmu sumbernya dari Allah swt. Hal ini membawa konsekwensi perlunya seorang siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menghiasi diri dengan akhlak mulia yang dicintai Allah swt, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai-Nya.[11]
Penjelasan ini  dapat ditarik kesimpulan bahwasannya anak didik atau siswa adalah orang yang memiliki kemampuan yang masih terpendam, yang mana kemampuan ini berada dalam fitrahnya masing-masing. Sedangkan kemampuan fitrah ini (bakat alam) perlu digali dan dieksplorasi ke luar. Oleh sebab itu, mereka memerlukan bimbingan, arahan, serta ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk meningkatkan proses mereka dalam memmupuk dirinya menjadi seorang yang mempunyai sosok tersendiri dalam hidupnya atau bahkan (yang dalam tujuan pendidikan islam) menjadi manusia yang kamil dari proses belajarnya itu.
3.  Perkembangan Kepribadian dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Alex Sobur dalam bukunya Psikologi Umum, mengambil pendapatnya Carl Gustaf Jung mengatakan bahwasannya, pertumbuhan pribadi merupakan suatu dinamika dari proses evolusi yang terjadi sepanjang hidup. Individu secara kontinyu berkembang dan belajar ketrampilan baru serta bergerak menuju realisasi diri. Selanjutnya ia mengatakan,
Pada hakikatnya, kepribadian dapat mencakup semua aspek perkembangan, seperti perkembangan fisik, motorik, mental, sosial, moral, tetapi melebihi penjumlahan semua aspek perkembangan tersebut. Kepribadian merupakan suatu kesatuan aspek jiwa dan badan, yang menyebabkan adanya kesatuan dalam tingkah laku dan tindakan seseorang (integrasi). Dan pembentukan pola kepribadian ini terjadi melalui proses interaksi dalam dirinya sendiri, dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan luar.[12]
Sedangkan menurut Hall dan Lindzey (dalam Alex Sobur) mengatakan, perkembangan berlangsung melalui tiga dimensi kepribadian. Dalam dimensi vertikal, orang berkembang dari posisi tengah pada skala kearah luar dan juga ke dalam. Ia mengembangkan kebutuhan yang lebih dalam dan lebih menyeluruh serta pola tingkah laku yang lebih terinci untuk memuaskan kebutuhannya. Dalam dimensi progresif, perkembangan berarti meningkatkan efisiensi dan produktifitas. Ia mencapai tujuannya dengan cara yang lebih langsung dan dengan lebih sedikit gerakan yang sia-sia. Dalam dimensi tranvers, pertumbuhan mengakibatkan koordinasi yang lebih baik dan keluwesan bertingkah laku yang lebih besar. Menurut Hall dan Lindzey, perkembangan yang harmonis pada ketiga dimensi ini akan memperkaya dan memperluas kepribadian.[13]
Fenomena ini merupakan suatu ketetapan Tuhan (sunnatullah) yang tak dapat dielakkan, bahwasannya perkembangan kepribadian selalu dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruinya. Dalam hal ini, Ida hanif dan Hanifudin menyimpulkan faktor-faktor yang amat mempengarui kepribadian ada lima yaitu; bentuk fisik, keluarga (dalam hal ini orang tua), teman sebaya (peer group), dan kebadayaan/ lingkungan.[14]
a.       Bentuk fisik (temperament)
Secara sekilas, menurut perhatian orang bentuk fisik tidak memiliki peran apa-apa dalam hububungannya yang menyangkut kepribadian. Namun, penelitian sejak dahulu kala -yang dilakukan oleh tokoh-tokoh psikolog- telah ditemukan berbagai bentuk fisik yang ada hubungan keterkaitan dengan watak pribadi seseorang, seperti postur tubuh jangkung, pendek, gemuk dan atletis memiliki corak kepribadian yang berbeda-beda. Entah didasarkan pada apa mereka tokoh psikolog mengatakannya demikian. Kretschmer adalah salah tokoh psikolog dan juga ahli penyakit jiwa berkebangsaan Jerman, membagi watak pribadi manusia melalui tipe-tipe postur tubuh yang berbeda. Ia mengatakan ada empat golongan menurut tipe dan bentuk tubuhnya masing-masing yaitu :
1)      Atletis : tinggi, besar, berotot, kekar dan tegap, dada lebar. Bagi orang seperti ini, biasanya memiliki watak schizothim, yang memilki sifat-sifat antara lain sukar bergaul, mempunyai kebiasaan yang tetap, sukar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang baru, kelihatan sombong, egoistis, bersifat ingin kuasa sendiri, kadang-kadang pesimis, selalu berpikir dahulu masak-masak sebelum bertindak.
2)      Astenis : tinggi, kurus, tidak kuat, bahu sempit, lengan dan kaki kecil. Umumnya memuliki sifat yang hampir sama dengan orang yang Atletis, yaitu schizothim.
3)      Piknis : bulat, gemuk, pendek, muka bulat, leher pejal. Biasanya memiliki watak  siklothim, yaitu mudah bergaul, suka humor, nudah berubah-ubah stemmingnya, mudah menyesuaikan diri dengan situasi yang baru, kurang setia dan konsekwen, lekas memaafkan kesalahan orang lain.
4)      Displastis ; merupakan bentuk tubuh campuran dari ketiga bentuk diatas, dengan kata lain juga memilki sifat-sifat perpaduan dari yang diseburtkan diatas.[15]
b. Keluarga.
Faktor keluarga adalah faktor genetika dari kedua orang tua. Menurut Murray ia beranggapan bahwa factor-faktor genetika mempunyai peranan penting dalam perkembangan dan pematangan kepribadian. Proses-proses genetic pematangan (yang setengah diambil dari ayah dan setengahnya lagi dari ibu) bertugas memprogramkan sejenis suksesi atau urutan pergantian sebagai masa kanak-kanak, adolesen dan masa dewasa awal, hal ini baru muncul dan bertambah banyak. Masa usia setengah baya, ditandai oleh rekomposisi konservatif atas strukutur dan fungsi yang telah muncul. Selama masa terakhir, masa usia lanjut, kapasitas untuk membentuk komposisi baru mulai berkurang. Sebaliknya Astrofi dari bentuk dan fungsi yang ada menjadi meningkat. Dalam banyak periode, terdapat banyak program peristiwa tingkah laku dan pengalaman yang lebih kecil dan berlangsung di bawah bimbingan proses pematangan yang dikontrol secara genetis.[16]
Ida hanif dan Hanifudin, mengatakan peran dan sikap orang tua mempunyai dampak yang signifikan untuk menentukan kepribadian si anak. Misalnya jika orang tua terlalu disiplin menyebabkan pola tingkah laku anaknya yang impulsive/terlalu labil, tidak dapat mengambil keputusan, nakal, dan bersikap suka bermusuhan dan agresif. Sedangkan bagi orang tua yang terlalu melindungi dampaknya bagi anak adalah perasaan tidak aman, dengki, mudah gugup dan lari dari kenyataan, sangat bergantung dan mudah menyerah, kurang bertanggung jawab, dan sulit bergaul. Selain itu egois, sulit bergaul, tidak mampu mengendalikan emosi, dan suka berbuat onar serta bertangkar.[17]
Uraian diatas dapat disimpulkan, bahwasannya, peran orang tua baik itu yang bersifat genetic maupun pembinaan sehari-hari sangat mempengarui dan menentukan perkembangan dari fungsi jiwanya. Hal yang serupa pernah disinggung oleh Rasulullah saw bahwasannya asal anak adalah fitrah, tergantung orang tuanya yang menjadikan dia seperti apa, kafir, islam, penurut, pendiam, pendendam dan lain sebagainya.[18]
c. Intelegensi.
Kata intelegensi berasal dari bahasa latin ‘intellegere’, -bisa diidentikkan dengan kata intelektual- yang berarti memahami. Sedangkan menurut istilah ialah; daya atau potensi (kecerdasan) untuk memahami segala persoalan yang diwujudkan dengan aktivitas intelegensi tersebut. Dan intelegensi ini, didefinisikan sebagai “kemampuan untuk berpikir secara abstark” (Terman); “Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya” (Colvin); “Teknik untuk memproses informasi yang disediakan oleh indra” (Hunt).[19]
Menurut ida hanif dan Hanifadun, intelegensi erat hubungannya dengan pikiran, yang dalam konteks pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian sangat menentukan pula (disamping genetic) dengan cara melihat dampak dari aktivitas pikiran seseorang itu sendiri. Katanya “Berpikir positif menghasilkan energi positif, berpikir negative menghasilakan energi negative”. Selanjutnya ia pula mengatakan, “Otak bekerja berdasarkan system keyakinan anda, dengan keyakinan, anda telah memperoleh keberhasilan hingga 50 % tapi ; 95 % orang di dunia merasakan dirinya rendah”[20]
d. Teman Sebaya
                     Diterangkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim, karangan syekh Az-zarnuji, bahwasannya di dalam memilih sahabat sebaiknya memilih orang yang tekun, warak (menjaga dari sesuatu dan perbuatan yang haram), bertabiat lurus, serta tanggap. Ia juga mengatakan, harus menjauhi sosok teman yang malas, penganggur, pembual, suka berbuiat onar, dan suka memfitnah.
Dalam konteks hubungannnya dengan perkembangan kepribadian seseorang, maka dapat dilihat bagaimana penuturan Syekh Zarnuji tersebut mengungkapkan bahwasannya teman yang baik bisa mempengaruhi watak pribadi seseorang secara tidak  langsung. Hal ini jelas akan berpengaruh dalam perkembangan kepribadaiannya yang selaras dengan kebiasaan teman yang biasanya jadi satu dengan dirinya (klien). Begitupula dengan berteman orang yang salah, maka akan cenderung mempengaruhi jiwa pribadi kita secara tidak langsung. Hal ini dikarnakan teman (apalagi teman dekat yang sering bertemu dan selalu bersama) akan mengisi lorong-lorong kehidupan kita dengan sikapnya tersebut, dan hal ini berdampak pada mentalitas sikap kita yang sejalan atau senada dengan watak/sikap teman yang menjadi mitra kita sehari-hari itu. Hal ini pula yang kemudian dijelaskan oleh Zarnuji dengan nada syairnya; “Janganah kamu tanyakan mengenai jati diri seseorang, tetapi lihatlah temannya. Karna seseorang akan mengikuti prilaku temannya” dan kemudian “Bila temannya orang yang jahat, maka hindarilah segera. Bila temannya orang yang baik, maka bersahabatlah dengannya, niscaya kamu akan mendapat petunjuk”[21].
Dari sini dapat kita pahami bahwa sahabat dan teman memilki pengaruh sangat besar pada kehidupan seseorang. Teman yang berakhlak buruk akan menularkan hal-hal yang negative kepada teman sepergaulannya. Banyak sekali pemuda yang mengalami penyompangan prilaku dan terjerumus dalam perbuatan hina kerna terpengaruh oleh temannya. Hasil penelitian menunujukkan bahwa teman yang buruk memilki andil besar dalam menjerumuskan seseorang kedalam keburukan. Oleh karna itu, penting sekali memeilih teman yang berakhlak mulia dan begitu pula sebaliknya menjauhi teman yang berakhlak buruk juga amat penting. Karna Rasulullah sendiri telah mengisyaratkan dengan berwasiat agar seseorang memilih teman yang shalih dan menghindari teman yang buruk.[22]
e. Kebudayaan/Lingkungan
                  Perkembangan kepribadian seseorang sanagat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan social dan budaya setempat, tradisi, nilai-nilai, prilaku kedua orang tua, cara orang tua mendidik dan memperlakukannya, berbagai macam media, juga dipengaruhi oleh berbagai macam peristiwa yang dialami dalam kehidupannya. Dalam masa adaptasinya, anak atau bahkan manusia dewasa akan mempelajari bahasa yang digunkan sebagai alat komunikasi dalam kehidupannya, mempelajari agama yang diyakini orang tuanya, dan mempelajari akhlak, kecenderungan, serta pemikiran.
              Sebenarnya, manusia dalm hidupnya banyak mengadopsi tradisi, etika, nilai dan prilaku, serta pemikiran dari lingkungan sosial dimana tempat ia tinggal melalui sebuah pembiasaan. Kalau seseoang sudah terbiasa dengan tradisi dimana ia tinggal, maka akan sulit sekali untuk dirubah, kecuali dengan cara paksa dan memerlukan waktu tertentu. Oleh sebab itu, Rasulullah pun telah mengisyaratkan adanya pengaruh buruk yang mengancam jiwa seseorang (anak didik). Karna dengan tradisi buruk itulah seseorang akan melakukan tindakan yang negatif dan enggan untuk mempraktikkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan terpuji. Ia tidak memikirkan bagaimana akibat perbuatan buruk yang dilakukannya dikemudian hari, karna ia melakukan itu berdasarkan watak yang telah terpatri dalam dirinya. Namun, hal ini juga berlaku sebaliknya, jika seseorang terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan mulia, maka ia akan terbiasa dengan perbutannya itu, bahkan ia melakukannya dengan spontan seakan-akan menjadi watak baginya.[23]
4. Pembentukan Pribadi yang sempurna (Caracter Building)
Pribadi merupakan masalah yang paling esensi dalam kehidupan seseorang, hal ini sebenarnya mencakup segala macam aspek dalam hidupnya dan apa saja yang dimiliki serta dialami dalam jiwanya itu. Konsep kepribadian yang paling mendasar dalam kajian psikologis adalah masalah yang berkenaan dengan kata “aku”. Ia merupakan pusat refensi dari setiap pengalaman. “Aku” adalah inti dari pengalaman individu yang secara perlahan akan mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya” dan “apa sebenarnya yang harus aku perbuat”. Jadi konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku. Untuk menunjukkan apakah konsep diri yang konkret sesuai ataukah terpisah dari perasaan dan pengalaman organismik.[24]
Kesadaran batin yang tetap adalah sebuah kondisi di mana seseorang mangalami sebuah endapan aktualisasi dari berbagai macam pengalaman, entah itu yang didasarkan pada pencerapan panca indra atau yang diperolehnya dari pemikiran-pemikirannya mengenai tingkah lakunya, yang mana hal ini akan masuk dan menjadi bahan dalam dirinya untuk diformat menjadi sebuah keadaan yang mendominasi kondisi jiwa seseorang, yang akhirnya terbentuklah sebuah kepribadian yang berdasarkan pada pengalaman hidupnya itu.
Dalam pandangan lain, kepribadian menurut Ari Ginanjar merupakan gabungan dari tiga aspek pokok komponen manusia yang amat mendasar dan amat menentukan watak kepribadian manusia. Ketiga komponen tersebut telah dibuilt in-kan dalam diri manusia itu adalah aspek kecerdasan otak (IQ), aspek kecerdasan Emosional (EQ) dan aspek kecerdasan Spiritual (SQ). Ketiga aspek ini merupakan   bekal dasar hidup manusia, yang mana jika diolah dengan semestinya akan dapat membuahkan manusia–manusia unggul dalam berbagai bidang yang ditekuninya.[25] Dan sekaligus menjadikan dirinya sebagai pribadi manusia yang unggul dalam kehidupan Masalah sesungguhnya yang disinggung oleh Ginanjar adalah seputar esensi yang dimiliki manusia dalam dirinya. Dan yang perlu digaris bawahi menurut beliau sebenarnya ialah tertuju pada aspek Spiritualnya (SQ), karna di sini manusia akan merasakan wilayah-wilayah transenden yang akan bangkit dengan perantaraan iman yang kokoh, karna hanya dengan imanlah manusia ditentukan kadar bobotnya di dunia dan di akhirat nanti.
Manusia dalam prosesnya (disadari ataupun tidak) akan menuju pada kesempurnaan hidup yang hakiki, yang menjaminnya bahagia sejati dan  jauh dari keterbatasan materi. Kesempurnaan hidup erat kaitannya dengan kesempurnaan manusia (insan kamil) yang erat kaitannya pula dengan kesempurnaan pasca kematian. Dengan kata lain, jika menginginkan matinya sempurna dan bahagia maka haruslah menjalani laku kesempurnaan hidup sebagai mana yang telah dicontohkan oleh Muahammad saw.
Sejalan dengan proses ini, manuasia akan sulit untuk menjadi sosok yang paripurna sesuai harapan jika tidak disertai dengan unsur yang paling esensi dalam hidup. Unsur yang paling esensi itu tidak lain adalah keimanan, dimana keimanan memilki peran vital dalam kehidupan seseorang. Karna dengan keimanan akan mengarahkan seseorang dalam membentuk prilaku dan pribadinya, baik ketika ia berinteraksi dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, maupun dengan orang lain. Keimanan merupakan neraca yang digunakan untuk mengukur semua amal perbuatan seseorang, berdasarkan iman inilah manusia terklasifikasi menjadi beberapa kelompok.
Keimanan merupakan fondasi yang dijadikan pijakan bagi manusia. Dalam pandangan islam, orang yang dianggap paling baik adalah orang yang paling kuat iman dan takwanya. Karna dalam kaca mata islam, semua yang melekat pada diri seseorang pada hakikatnya tidak ada artinya. Hanya ketakwaan dan keimanan sajalah yang ada artinya, karna Allah swt dalam menimbang amal baik hamba adalah berdasarkan pada kadar iman dan takwanya.[26] Oleh karna itu, keimanan dan ketakwaan adalah alat pengukur kebaikan seseorang, sebagaimana yang difirmankan Allah swt berikut ini:
Ø¥ِÙ†َّ اكْرَÙ…َÙƒُÙ…ْ عِÙ†ْدَالله اَتْÙ‚َاكُÙ…ْ ......
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu  di sisi Allah swt adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.... (QS. Al-Hujrot : 13) [27]
Begitupula baginda Rasulullah saw., pernah ditanya oleh salah satu sahabatnya, “siapakah orang yang paling mulia ?” Rasulullah saw menjawab, “mereka yang paling bertakwa kepada Allah swt” (HR. Buchori dan Muslim, dari Abu Hurairah)[28]
Menurut ayat dan hadis di atas, nilai manusia ditentukan oleh derajat, ketakwaannya (selanjutnya akan muncul pada diri orang itu keimanan, amal shalih dan akhlak yang dilandaskan pada keimanan), bukan kedudukan mereka didasarkan pada garis keturunan, harta kekayaan, pangkat dan penampilan yang menarik. Hal ini didasarkan karna model hidup seperti ini adalah model hidup orang-orang yang berfaham materialisme yang buta akan kehidupan sejati.[29] Rasulullah saw., bersabda “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti, akan datang seseorang yang bertubuh besar lagi gemuk. (tapi) Dalam pandangan Allah swt, bobotnya sama sekali tidak –berarti, bahkan tidak untuk sekadar- bobotnya sayap nyamuk” (HR. Buchori Muslim dan Abu Hurairah).[30] 
Berdarkan pada penjelasan ini, amat jelas bahwa pembentukan kepribadian yang sempurna amat diperankan oleh keimanan dan ketakwaan, karna masalah ini secara langsung disinggung oleh Allah swt dalam surat Al-Hujrot : 13 diatas dan didukung oleh beberapa hadits Nabi. Oleh sebab itu, jika dikaitkan dengan konteks judul skripsi ini adalah berkaitan dengan pembentukan nilai sikap kepribadian anak didik yang mulia berdasarkan pada pembekalan nilai-nilai moral agama dan keimanan yang diajarkan di sekolah lewat pendekatan kurikulum pesanteren, berupa kajian literatur-literatur klasik atau kitab kuning, yang dirasa cukup meyakinkan, jika disertai niatan yang tulus dalam mengkajinya, dan dapat pula memberikan kontribusi makanan bagi jiwa spiritual dan kehidupan seseorang semakin barokah.
1.      Metode Pembinaan Kepribadian
Metode pembinaan kepribadian adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian yang mengacu kepada pendidikan akhlak. Dalam mendidik akhlak perlu sebuah sistem ataupun metode tepat agar proses internalisasi dapat berjalan dengan baik, lebih penting adalah anak mampu menerima konsep akhlak dengan baik serta mampu mewujudkan dalam kehidupan keseharian.
Pembinaan kepribadian membentuk akhlak mulia merupakan bagian dari tujuan pendidikan di Indonesia, tujuan tersebut membutuhkan perhatian besar berbagai pihak dalam rangka mewujudkan manusia berskill, kreatif, sehat jasmani dan rohani sekaligus berakhlak mulia. Penulis beranggapan bahwa inti dari pendidikan adalah pendidikan akhlak, sebab tidak ada artinya skill hebat jika tidak berakhlak mulia. Tidak ada artinya mempunyai generasi hebat, jenius, kreatif tetapi tidak berakhlak mulia.
Berdasarkan alasan tersebut, penulis berasumsi bahwa akhlak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan ini. Karena tanpa akhlak dunia akan hancur, dunia akan menjadi seperti neraka, dunia akan menjadi ladang pemuasan keinginan tak terkendali, baik kendali keagamaan, adat maupun moral. Kalau disuruh memilih dua pilihan, pilihan pertama pemimpin berakhlak mulia, tetapi berpendidikan diploma, pilihan kedua pemimpin bergelar strata tiga/Doktor tetapi berakhlak buruk, suka berzina, korupsi dan perilaku jelek lainnya, pasti orang sehat akalnya akan memilih pemimpin berpendidikan diploma, daripada pemimpin bergelar Doktor/S.3 tetapi berakhlak buruk.
Dari perumpamaan tersebut memperjelas dan menguatkan asumsi bahwa akhlak mulia menempati urutan teratas jika dibandingkan dengan skill. Di mana pun tempatnya akhlak mulia mendapatkan tempat dihati masyarakat. Untuk itu perlu kiranya langkah dan terobosan lebih maju untuk mendidik anak didik mempunyai akhlak mulia. Perlu adanya metode (teknik) yang tepat untuk mendidik anak agar berakhlak mulia. Metode yang dapat diandalkan dan mudah di lakukan. Di samping itu perlu adanya kesamaan antara pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat, sehingga dimungkinkan pendidikan  berjalan searah dalam mencapai tujuan.
Mengenai hal ini, Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina akhlak anak didik, bahkan tidak sekedar itu metode pendidikan Islam memberikan motivasi sehingga memungkinkan umat Islam mampu menerima petunjuk Allah. Menurut Abdurrahman an-Nahlawi metode pendidikan Islam adalah metode dialog, metode kisah Qurani dan Nabawi, metode perumpaan Qurani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan, metode ibrah dan nasihat serta metode targhib dan tarhib. Dari kutipan tersebut tergambar bahwa Islam mempunyai metode tepat untuk membentuk anak didik berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Islam. dengan metode tersebut memungkinkan umat Islam/masyarakat Islam mengaplikasikannya dalam dunia pendidikan. Dengan demikian diharapkan akan mampu memberi kontribusi besar terhadap perbaikan akhlak anak didik, dalam hal ini, menurut hemat penulis terdapat dua metode yang diadakan untuk membina akhlak mulia yaitu; pertama; Metode Ibtida’ atau metode yang dikhusukan bagi anak didik di masa pertumbuhan dan remaja. Dan yang kedua adalah metode lanjutan yang biasanya dikhusukan bagi pelajar dewasa (mahasiswa) dan orang tua. Untuk memperjelas metode-metode tersebut akan di bahas sebagai berikut:
a.    Metode Ibtida’
Metode Ibtida’ terdiri dari Metode Dialog Qurani dan Nabawi, Metode Mauidzah (ceramah), Metode Pembiasaan dengan Akhlak Terpuji, Metode Keteladanan (Hikmah), dan Metode Targhib Tarhib. [31]
1)    Metode Dialog Qurani dan Nabawi
Metode dialog adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembiacaaan antara dua orang atau lebih, dalam embicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik pembicaraan tertentu. Metode dialog berusaha menghubungakn pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.
Abdurrrahman an-Nahlawi mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan pola dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk mengikuti dialog hingga selesai, melalui dialog perasaan dan emosi pembaca akan terbangkitkan, topic pembicaraan disajikan bersifat realistik dan manusiawi. Dalam al-Quran banyak memberi informasi tentang dialog, di antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog khitabi, taabbudi, deskritif, naratif, argumentative serta dialog Nabawiyah. Metode dialog sering dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada anak didik untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami.[32]
2)      Metode kisah Qurani dan Nabawi

Dalam al-Quran banyak ditemui kisah menceritakan kejadian masa lalu, kisah mempunyai daya tarik tersendiri yang tujuannnya mendidik akhlak, kisah-kisah para Nabi dan Rasul sebagai pelajaran berharga. Termasuk kisah umat yang ingkar kepada Allah beserta akibatnya, kisah tentang orang taat dan balasan yang diterimanya. Seperti cerita Habil dan Qobil, dalam ayat berikt ini.
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. ( QS. Al-Maidah : 27) [33]
 
Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya Aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam”( QS. Al-Maidah : 28)[34]
Sesungguhnya Aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim”( QS. Al-Maidah : 29)[35]
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah :30)[36]
Keempat Ayat di atas merupakan contoh dalam Al-Quran yang berhubungan dengan kisah. Kisah dalam al-Quran mengandung banyak pelajaran. Kisah dalam al-Quran dapat menjadi pelajaran bagi manusia. Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan kisah mengandung aspek pendidikan yaitu dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembacanya, membina perasaan ketuhanan dengan cara mempengaruhi emosi, mengarahkan emosi, mengikutsertakan psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita, topic cerita memuaskan pikiran. Selain itu kisah dalam al-Quran bertujuan mengkokohkan wahyu dan risalah para Nabi, kisah dalam al-Quran memberi informasi terhadap agama yang dibawa para Nabi berasal dari Allah, kisah dalam Al-Quran mampu menghibur umat Islam yang sedang sedih atau tertimpa musibah.
 Metode mendidik akhlak melalui kisah akan memberi kesempatan bagi anak untuk berfikir, merasakan, merenungi kisah tersebut, sehingga seolah ia ikut berperan dalam kisah tersebut. Adanya keterkaitan emosi anak terhadap kisah akan memberi peluang bagi anak untuk meniru tokoh-tokoh berakhlak baik, dan berusaha meninggalkan perilaku tokoh-tokoh berakhlak buruk.
Cerita mengusung dua unsur negatif dan unsur positif, adanya dua unsur tersebut akan memberi warna dalam diri anak jika tidak ada filter dari para orang tua dan pendidik. Metode mendidik akhlak melalui cerita/ kisah berperan dalam pembentukan akhlak, moral dan akal anak. Dari kutipan tersebut dapat diambil pemahaman bahwa cerita/kisah dapat menjadi metode yang baik dalam rangka membentuk akhlak dan kepribadian anak.
Cerita mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri dalam menarik simpati anak, perasaannya aktif, hal ini memberi gambaran bahwa cerita disenangi orang, cerita dalam al-Quran bukan hanya sekedar memberi hiburan, tetapi untuk direnungi, karena cerita dalam al-Quran memberi pengajaran kepada manusia. Dapat dipahami bahwa cerita dapat melunakkan hati dan jiwa anak didik, cerita tidak hanya sekedar menghibur tetapi dapat juga menjadi nasehat, memberi pengaruh terhadap akhlak dan perilaku anak, dan terakhir kisah/ cerita merupakan sarana ampuh dalam pendidikan, terutama dalam pembentukan akhlak anak.
3)       Metode Mauidzah (ceramah)
Dalam tafsir al-Manar sebagai dikutip oleh Abdurrahman An-Nahlawi dinyatakan bahwa nasihat mempunyai beberapa bentuk dan konsep penting yaitu, pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan orang diberi nasehat akan menjauhi maksiat, pemberi nasehat hendaknya menguraikan nasehat yang dapat menggugah perasaan afeksi dan emosi, seperti peringatan melalui kematian peringatan melalui sakit peringatan melalui hari perhitungan amal. Kemudian dampak yang diharapkan dari metode mauizah adalah untuk membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa anak didik, membangkitkan keteguhan untuk senantiasa berpegang kepada pemikiran ketuhanan, perpegang kepada jamaah beriman, terpenting adalah terciptanya pribadi bersih dan suci
Dalam al-Quran menganjurkan kepada manusia untuk mendidik dengan hikmah dan pelajaran yang baik.“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat diambil pokok pemikiran bahwa dalam memberi nasehat hendaknya dengan baik, kalau pun mereka membantahya maka bantahlah dengan baik. Sehingga nasehat akan diterima dengan rela tanpa ada unsur terpaksa. Metode mendidik akhlak anak melalui nasehat sangat membantu terutama dalam penyampaian materi akhlak mulia kepada anak, sebab tidak semua anak mengetahui dan mendapatkan konsep akhlak yang benar.
Nasehat menempati kedudukan tinggi dalam agama karena agama adalah nasehat, hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad sampai tiga kali ketika memberi pelajaran kepada para sahabatnya. Di samping itu pendidik hendaknya memperhatikan cara-cara menyampaikan dan memberikan nasehat, memberikan nasehat hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, pendidikan hendaknya selalu sabar dalam menyampaikan nasehat dan tidak merasa bosan/ putus asa. Dengan memperhatikan waktu dan tempat tepat akan memberi peluang bagi anak untuk rela menerima nasehat dari pendidik.
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd mengatakan cara mempergunakan rayuan/ sindiran dalam nasehat, yaitu:
  1. Rayuan dalam nasehat, seprti memuji kebaikan murid, dengan tujuan agar siswa lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan membicarakan keburukannya.
  2. Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga membangkitkan semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
  3. Membangkitkansemangat dan kehormatan anak didik.
  4. Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
  5. Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui sindiran
  6. Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang melakukan sesuatu berbeda dengan perbuatannya. Kalau hal ini dilakukan akan akan mendorongnya untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.
Dengan cara tersebut akan memaksimalkan dampak nasehat terhadap perubahan tingkah laku dan akhlak anak, perubahan dimaksud adalah perubahan yang tulus ikhlas tanpa ada kepura-puraan, kepura-puraan akan muncul ketika nasehat tidak tepat waktu dan tempatnya, anak akan merasa tersinggung dan sakit hati kalau hal ini sampai terjadi maka nasehat tidak akan membawa dampak apapun, yang terjadi adalah perlawanan terhadap nasehat yang diberikan.
4)      Metode Pembiasaan dengan Akhlak Terpuji
Manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih, dalam keadaan seperti ini manusia akan mudah menerima kebaikan atau keburukan. Karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk menerima kebaikan atau keburukan hal ini dijelaskan Allah, sebagai berikut:” Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia mempunyai kesempatan sama untuk membentuk akhlaknya, apakah dengan pembiasaan yang baik atau dengan pembiasaan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembiasaan dalam membentuk akhlak mujlai sangat terbuka luas, dan merupakan metode yang tepat. Pembiasaan yang dilakukan sejak dini /sejak kecil akan memebawa kegemaran dan kebiasaan tersebut menjadisemacam adapt kebiasaan sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadiannya. Al-Ghazali (dalam Jauhari) mengatakan:
”Anak adalah amanah orang tuanya. hatinya yang bersih adalah permata berharga nan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu siap menerima setiap tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia didunia dan akhirat, orang tuanya pun mendapat pahala bersama.”[37]
Kutipan di atas makin memperjelas kedudukan metode pembiasaan bagi perbaiakn dan pembentuakan akhlak melalui pembiasaan, dengan demikian pembiasaan yang dilakukan sejak diniakan berdampak besar terhadap kepribadian /akhlak anak ketiak mereka telah dewasa. Sebab pembiasan yang telah dilakukan sejak kecil akan melekat kuat di ingatan dan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dirubah dengan mudah. Dengan demikian metode pembiasaan sangat baik dalam rangka mendidik akhlak anak.
5)      Metode Keteladanan
Muhammad bin Muhammad al-Hamd mengatakan pendidik itu besar dimata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena murid akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya.[38] Dengan memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai arti pentng dalam mendidik akhlak anak, keteladanan menjad titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik, kalau pendidik berakhlak baik ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak baik, karena murid meniru gurunya, senbaliknya kalauguru berakhlak buruk ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak buruk.
Dengan demikian keteladanan menjadi penting dalam pendidikan akhlak, keteladanan akan menjadi metode ampuh dalam membina akhlak anak. Mengenai hebatnya keteladanan Allah mengutus Rasul untuk menjadi teladan yang paling baik, Muhammad adalah teladan tertinggi sebagai panutan dalam rangka pembinaan akhlak mulai,” Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
 Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Muhammad Saw menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, dilain pihak pendidik hendaknya berusaha meneladani Muhammad Saw sebagai teladannya, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figure yang dapat dijadikan panutan.
6)      Metode Targhib dan Tarhib
Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan (jawa; ngebang-ngebang). Sedangkan tarhib adalah ancaman, intimidasi melalui hukuman. Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa metode pendidikan akhlak dapat berupa janji /pahala/ hadiah dan dapat juga berupa hukuman. Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari menyatakan metode pemberian hadiah dan hukuman sangat efektif dalam mendidik akhlak terpuji.
Anak berakhlak baik, atau melakukan kesalehan akan mendapatkan pahala/ganjaran atau semacam hadian dari gurunya, sedangkan siswa melanggar peraturan berakhlak jelek akan mendapatkan hukuman setimpal dengan pelanggaran yang dilakukannya. Dalam al-Quran dinyatakan orang berbuat baik akan mendapatkan pahala, mendapatkan kehidupan yang baik.” Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.”
 Berdasarkan ayat di atas dapat diambil konsep metode pendidikan yaitu metode pemberian hadiah bagi siswa berprestasi atau berakhlak mulai, dengan adanya hadian akan memberi motivasi siswa untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kebaikan akhlak yang telah dimiliki. Di lain pihak, temannya yang melihat pemberian hadiah akan termotivasi untuk memperbaiki akhlaknya dengan harapan suatu saat akan mendapatkan kesempatan memperoleh hadiah. Hadiah diberikan berupa materi, doa, pujian atau yang lainnya.
Muhammad Jamil Zainu mengatakan,”Seorang guru yang baik, harus memuji muridnya. Jika ia melihat ada kebaikan dari metode yang ditempuhnya itu,dengan mengatakan kepadanya kata-kata “bagus”, “semoga Allah memberkatimu”, atau dengan ungkapan “engkau murid yang baik’
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan, dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
  1. Memberi nasehat dan petunjuk.
  2. Ekspresi cemberut.
  3. Pembentakan.
  4. Tidak menghiraukan murid.
  5. Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
  6. Jongkok.
  7. Memberi pekerjaan rumah/ tugas.
  8. Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
  9. Dan alternatif terakhir adalah pukulan ringan.
Dalam memberi sanksi hendaknya dengan cara bertahap, dalam arti diusahakan, dengan tahapan paling ringan, diantara tahapan ancaman dalam al-Quran adalah diancam dengan tidak diridhoi oleh Allah, diancam dengan murka Allah secara nyata, diancam dengan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, diancam dengan sanksi akhirat, diancam dengan sanksi dunia. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa dalam melaksanakan hukuman dituntut berdasarkan tahapan-tahapan, sehingga ada rasa keadilan dan proses sesuai prosedur hukuman.

b.   Metode Lanjutan (‘Ulya)
Metode pembinaan atau pendekatan lanjutan yang diselenggarakan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan yang kokoh guna memperoleh kepribadian yang ideal (baca; mulia) dan sempurna yang didasarkan pada penerapan iman yang kokoh dan takwa yang meresap, yang dikhususkan bagi generasi dewasa (mahasiswa dan orang tua) adalah dengan cara mengamalkan segenap pengetahuan dan wawasan tentang nilai-nilai agama yang telah diperolehnya dari Metode Ibtida’. Proses awalnya melalui usaha memahami terlebih dahulu nilai-nilai ajaran agama islam (sebagaimana di metode Ibtida’), kemudian berusaha untuk diamalkan (aplication) dalam kehidupan sehari-hari, setelah itu perlu adanya sebuah konsistensi (istiqomah) dalam mengamalkan ajaran agama yang dimilikinya. Akhir dari semua usaha itu bertitik pada penuaian akhlah yang mulia, atau dalam fokus skripsi ini disebut dengan kepribadian yang mulia pada diri seseorang atau anak didik dalam kehidupan sehari-hari.
Sebuah usaha dan metode yang digunakan dalam hal ini pada intinya ialah memahami tentang proses Ilmu amaliah, amal ilmiah, istiqamah dan Akhlakul karimah[39]. Keempatnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)      Ilmu Amaliah.
Ialah segenap pengetahuan yang dihasilkan dari tangkapan panca indra yang masuk kedalam memori otak manusia, baik melalui pembelajaran maupun pembiasaan, yang kemudian meresap dalam kedalaman akal dan hati, dan terealisasikan lewat pembicaraan dan amalan seseorang dalam sehari-hari.
Ilmu tidak dapat dilihat, namun hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh si pemiliknya. Seseorang bisa dikatakan berilmu manakala ia berusaha untuk mencarinya dengan segenap usaha dan tujuan yang jelas, serta disertai dengan masa yang relatif panjang dalam mencarinya. Ia merupakan sesuatu yang membuat perkara lain menjadi mudah,[40] dengannya apa saja menjadi terealisasi dalam kenyataan, dengannya pancaran mata hati menjadi terbuka, dan dengannya pula segala sesuatu menjadi jelas dan tidak samar.
Dalam hal ini, terdapat ilmu yang menjadi paling utama untuk wajib diketahui dan dicari oleh segenap umat (khususnya umat islam), yaitu sebagaimana yang dijelaskan oleh Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Muta’allim, ia mengetakan berdasarkan hadis Nabi saw, bahwasannya ilmu yang wajib dicari adalah ilmu yang berkaitan dengan kehidupan sehari atau ilmu hal, dan amal yang lebih utama adalah menjaga hal. Dalam kitab tersebut ilmu hal terdiri dari Tauhid, Syari’at dan Akhlak.[41] Ketiga ilmu ini yang senantiasa diwajibkan kepada umat islam untuk selalu dipelajari dan didalaminya dalam kehidupan seharih-hari. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
Pertama, Tauhid yaitu dengan pokok-pokonya mengetahui bahwasanya kita mempunyai Tuhan Allah swt, dan Dia Maha Esa dalam Dzat, Asma dan Sifat-Nya. Yakni bahwasannya Allah swt Maha Esa dalam segala perbuatan-Nya, maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha terpuji, Maha Bijaksana, Maha perkasa, dan Maha-maha yang lain yang tak serupa dengan makhluk. Bersih dari sifat-sifat makhluk, tidak menetap pada suatu arah dan tidak pula menempati pada suatu ruang tertentu,[42] tidak pula terpengaruh oleh zaman. Akan tetapi sebaliknya, ruang, tempat dan waktu itulah yang terpengaruh dan bergantung pada Allah swt. Selain itu juga mengetahui tentang kerasulan Muhammad saw, dan mu’jizatnya berupa Al-Quran yang amat dahsyat dan mengandung banyak ilmu dan hikmah, serta tak kunjung musnah dimakan zaman. Karna ia pada hakikatnya berasal dari keazalian dan keabadian.
Kedua, Syariat, yaitu mengetahui pokoknya mengenai cara beribadah yang telah diwajibkan oleh Allah swt melalui Muhammad saw, seperti Shalat, puasa Ramadhan, zakat, dan haji apabila telah mampu. Dan mengetahui serta menjalankan apa saja yang menjadi perintah dan larangan, halal dan haram dalam beribadah, tata cara beribadah, bersuci dan sebagainya. Garapan utama yang menjadi tujuan disayariatkannya agama ialah lima hal yaitu; Hifdzul dien (memelihara Agama), hifdzul Aql (memelihara akal), hifdzul Nafs (memelihara Jiwa), hifdzul Maal (memelihara harta), dan hifdzl Nasl (memelihara keturunan).[43]
Ketiga, Akhlak/ tasawuf, ialah ilmu tentang hal ihwal mengetahui laku bathin, seluk beluknya, jalan menempuh hadirat Ilahi, kesucian bathin, laku zuhud, tobat, wira’i, ikhlas dalam beramal, tawadhu’ kepada Sang Khaliq, khusu’ dalam beribadah, dan lain-lain. Dalam seminar Nasional kajian Thariqah, Moesa Ali Maschan menyampaikan devinisi tasawuf dalam makalahnya Membangun kesalehan social individual melalui sufistik, ia menyampaikan bahwasannya tasawuf adalah; ilmu pengetahuan mengenai diri,pencapaian karakter mulia, melalui penyucian hati. Ilmu yang bisa digunakan untuk mengenali diri (identifikasi diri) baik dari sisi terpuji maupun tercela dan bagaimana cara membersihkan dan mensucikannya, termasuk tata cara suluk dan menuju Allah swt.[44]
Mengenai ketiga ilmu ini, lebih lanjut dikatakan oleh Al-Ghozali, apabila kita dapat menjalankan ketiganya, maka kita adalah hamba Allah swt dalam bidang ilmu pengetahuan, dan secara otamatis kita telah melaksanakan perintah utama yang paling agung dan mulia. Karna beberapa ayat dan hadist telah menyatakannya demikian. Diantara ayat yang memberikan kemuliaan khusus terhadap hamba yang berilmu ialah QS. Al-Fathir : 28
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”[45]
Dan juga QS. Al-Baqarah : 31
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"[46]
Dari penjelasan kedua ayat diatas kita mengetahui bahwasannya semua hamba Allah swt, entah itu dari jenis manusia ataupun binatang dengan segala macamnya, yang paling takut (takut disini bukan berarti takut akan sesuatu yang mengerikan dan menjauhinya, melainkan takut dalam arti mengagungkan dan mendekatinya dengan landasan pengetahuan) ialah hamba yang berilmu pengetahuan. Dan bahkan dijelaskan dalam surat Al-Baqarah : 31 di atas, Allah swt mengajarkan nama-nama segala sesuatu yang berada di alam semesta ini kepada Adam as (dan berikutnya kepada segenap anak turunnya), dan setelah itu disuruh memberi tahu kepada malaikat akan ilmu pengetahauan (nama-nama segala benda) yang telah diajarkan Allah kepadanya (Adam). Berkat dengan nama-nama ini, malaikat menjadi ta’jub kepada Adam dan akhirnya tunduk kepadanya atas perintah Allah swt.
Kedua ayat di atas pada intinya memberikan kemuliaan khusus kepada manusia berupa ilmu pengetahuan, yang kemudian dengan ilmu pengetahuan tersebut manusia menjadi unggul dari segala jenis makhluk lain ciptaan Allah swt. Hal ini didasarkan ilmu merupakan ciri tersendiri bagi makhluk manusia selainnya tidak, bahkan malaikatpun tidak,  tetapi ia hanya patuh menunggu perintah dari Tuhannya. Semua sifat yang ada pada diri manusia juga dimiliki oleh makhluk lain seperti binatang, seperti keberanian, membela diri, usaha mempertahankan hidup. Akan tetapi khusus ilmu yang hanya sifat khusus diperuntukkan bagi manusia,[47] karna manusia juga dianugerahi akal, dengan akalnya ia menyerap ilmu dan berfikir kearah kemujuan dan peradaban zaman secara terus menerus.
Amat besar arti sebuah ilmu dan ibadah (amaliah), bahkan menjadi tujuan utama diciptakanya bumi dan akhirat. Dan oleh karna itu, ilmu dan amaliah menjadi perkara yang amat penting dan begitu bermanfaat dan selain keduanya (menurut Al-Ghozali) sama sekali tidak ada kebaikannya dan tidak ada manfaatnya. [48]
2)      Amaliah ilmiah
Amaliah ilmiah adalah beramal (praktek) dengan berlandaskan ilmu/ petunjuk sebuah ilmu, tidak dengan ikut-ikutan dan kebodohan. Dalam hal ini, Allah swt sangat melarang hamba-hamba-Nya untuk beramal tanpa berlandasakan ilmu yang benar. Karna tanpa ilmu, beramal akan seperti orang yang sedang berjalan dengan mata yang buta. Ia tak dapat melihat jalan yang benar dan lurus yang mengantarkannya kepada tujuan mulia, namun ia berjalan terjengkal-jengkal dan tidak tahu arah tujuannya yang dikehendaki hati dalam beribadah. Hal ini sebagaimana yang pernah dilukiskan dalam sebuah hadist yang menyatakan bahwa tidurnya orang alim lebih utama dari pada ibadahnya orang bodoh. Dan setan tidak berani menggoda orang alim yang tertidur itu karna ilmunya yang menjaganya, setan berani  menggoda orang yang sedang beribadah tapi tanpa landasan ilmu yang benar.[49]
Orang beramaliah tanpa menggunakan ilmu tidak akan mantap dalam amal ibadahnya dan sulit sampai kepada tujuan utamanya ia beramal. Dan hal ini sudah pasti amalnya akan sulit diterima di sisi Allah swt, karna di dalamnya tidak berbobot sama sekali, tidak ada nilai esensi yang terkandung dalam ibadahnya. Masalah ini amat diperhitungkan karna pada dasarnya dalam beramal ibadah sangat ditentukan dengan peran gerak hati berupa tawakkal, berserah diri, ridha, sabar, tobat dan ikhlas.[50] Karna ia merupakan modal hamba yang akan menjadi pertimbangan Allah swt dalam menerima atau tidaknya amaliahnya. Ia juga merupakan esensi dalam setiap amaliah, oleh sebab itu menjadi kewajiban khusus untuk dipelajari dan didalamiDisamping itu pula amaliah merupakan buah dari ilmu, konsekwensinya jika beramal tanpa menggunakan ilmunya, maka ilmu itu akan musnah bagai debu tertiup angin, sebagaimana yang pernah dituturkan oleh Hasan Al-Bashri (dalam Al-Ghozali) “…. Beribadahlah (beramal) dengan tanpa melepaskan ilmu”[51]. Bahkan dalam Al-Quran pun disinggung bahwasannya Allah swt amat benci terhadap orang yang hanya berteori belaka namun amal ibadahnya sama sekali tidak sesuai dengan teorinya itu (hanya bicara tanpa beramal).
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS. Al-Shaf : 2)
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaf : 3) [52]
Oleh karna itu, sudah sepantasnya bagi tiap muslim untuk tidak ragu-ragu untuk beramal ilmiah berlandaskan ilmu yang kuat dan mengetahui arah yang benar dalam ibadah amaliahnya itu.
Dalam pandangan kitab klasik moralistik Ta’limul Muta’allim (kitab yang dijadikan rujukan ilmu akhlak dalam mencari ilmu yang amat terkenal di kalangan pesantren), bahwasannya Amaliah berarti meninggalkan dunia untuk meraih akhirat.[53] Dengan ungkapan lain, bahwasannya dalam menjalankan segala bentuk amaliah ibadah seyoginya tidak menoleh pada tujuan dunia (karna dunia hanya sebatas perkara kecil yang tidak sebanding dengan keagungan ilmu dan amal yang ia laksanakan), namun hanya diarahkan  kepada tujuan akhirat belaka (yang memiliki keagungan sebanding dengan ilmu dan amalnya).  Dalam konteks yang lebih luas, megamalkan ilmu berarti tidak hanya pada pemenuhan ibadah yang disayariatkan dalam agama, namun dalam agama sendiri memerintahkan kepada pemeluknya untuk menjadikan segala aktivitasnya ditujukan kepada tujuan agung akhirat dan mencari ridha Ilahi, dengan berlandaskan amaliah ilmiah serta mensetting niat yang bagus. Sebagaimana diungkapkan dalam Ta’limul muta’allim oleh Al-Zarnuji, bahwasannya berapa banyak amal yang berbau akhirat tapi dengan buruknya niat menjadi amal dunia, dan berapa banyak amal dunia dengan bagusnya niat menjadi amalan akhirat.[54]
Namun yang sering menjadi kendala seseorang ketika memulai praktek amaliah ini ialah sulit untuk memulainya, dengan alasan berat, kasl, bosan, merasa puas sebelum sempurna. Perkara ini disebabkan oleh tidak samanya antara ilmu dan amal, apabila ilmu adalah perkara tersendiri maka begitupula dengan mengamalkannya, ia merupakan perkara lain yang berbeda dengan ilmu (teori-teori). Oleh karna itu perlu aplikasi pemahaman yang kuat tentang pentingnya beramal ilmiah untuk dijadikan motivasi dalam mengerjakannya. Apabila telah terbiasa, maka amalan ilmiah itu menjadi mudah dan tidak membosankan. Selanjutnya, akan tercapailah apa yang menjadi harapan untuk memperoleh kepribadian sempurna. (akan diterangkan dalam sub bab istiqamah).
Begitulah kiranya, apabila kita menjalankan amaliah dengan hiasan ilmu, ibadah akan menjadi sejuk dan berbobot serta begitu indah mengagumkan, baik oleh pandangan manusia lebih-lebih dalam pandangan Allah swt. Jika begitu, maka seorang hamba akan menjadi seorang hamba yang berilmu karna Allah dengan berdasarkan pengetahuan, tidak bodoh, hanya ikut-ikutan, ataupun lalai serta akan memperoleh kemuliaan yang agung, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Di dunia (biasanya) berupa kemuliaan yang khariqul adat (jawa; nulayani adat) seperti karamah para wali dan sebagainya. Sedangkan di akhirat mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt dengan ditempatkan di posisi yang amat ideal. Surga.
3)  Istiqamah
Setelah berilmu bermaliah dan beramaliah yang berlandasakan ilmu, maka langkah selanjutanya ialah berkomitment untuk selalu berkesinambungan mengamalkannya (istiqamah). Istiqamah artinya berkesinambungan, tidak berubah-rubah, atau tidak terputus. Seperti yang disinggung dalam Ayat berikut :


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushilat :30) [55]
Istiqamah juga yang menyebabkan amalan menjadi sempurna, dan dengan istiqamah berbagai kebaikan akan terwujud. Dan orang yang tidak istiqamah dalam ibadahnya, tidak akan mencapai kehendaknya.
Dalam beristiqamah diperlukan ketekunan khusus untuk melaksanakan apa yang telah menjadi pengetahuan dan amalannya sehari-hari. Disamping itu, perlu adanya pemahaman mengenai gerak hati sebagai daya dorong/ motivasi dan sebagai pencegah dari perkara-perkara yang dapat menggagalkan jalannya ibadah, seperti ikhlas, tawakkal, ridha, sabar, tawadlu’ dan lain sebagainya. Dalam beristiqamah pula, dapat meningkatkan dari satu maqam ke maqam yang lain.
Abu Ali al-Daqoq berkata (dalam Al-Ghozali) tentang istiqamah, bahwasannya istiqamah memiliki tiga tingkatan yaitu; penegakan dengan proses latihan menahan hawa nafsu, berdiri dengan melaksanakan pendidikan hati dan terakhir baru istiqamah dengan pendekatan-pendekatan yang mengagumkan (ajaib).
Imam Al-Ghozali juga mengatakan dalam Mukasyafatul qulub, bahwasannya istiqamah berada dalam kata-kata, perbuatan dan amalan. Dalam kata-kata ialah dengan meninggalkan kebiasaan berbisik-bisik (jawa; ngrasani) tentang kejelekan orang lain. Dalam perbuatan adalah dengan meninggalkan bid’ah, dan dalam amalan ialah dengan tidak menunggu-nunggu perbuatan yang mulia untuk dilaksanakan.[56]
4)      Akhlakul Karimah
Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu alkhulqu, al-khuluq yang mempunyai arti watak, tabiat, keberanian, atau agama. Secara Istilah akhlak menurut Ibnu Maskawaih (421 H) adalah:
“suatau keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat dan akhlak.”[57]
Indikasi bahwa akhlak dapat dipelajari dengan metode pembiasaan, meskipun pada awalnya anak didik menolak atau terpaksa melakukan suatu perbuatan/ akhlak yang baik, tetapi setelah lama dipraktekkan, secara terus-menerus dibiasakan akhirnya anak mendapatkan akhlak mulia.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sebagaimana dikutip Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari [58] memberikan definisi akhlak sebagai ”suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam-macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih dahulu”
 Dari dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa akhlak bersumber dari dalam diri anak dan dapat juga berasal dari lingkungannya. Secara umum akhlak bersumber dari dua hal tersebut dapat berbentuk akhlak baik dan akhlak buruk, tergantung pembiasaannya, kalau anak membiasakan perilaku buruk, maka akan menjadi akhlak buruk bagi dirinya, sebaliknya anak membiasakan perbuatan baik, maka akan menjadi akhlak baik bagi dirinya.
Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa akhlak dapat dipelajari dan diinternalisasikan dalam diri seseorang melalui pendidikan, di antaranya dengan metode pembiasaan. Dengan adanya kemungkinan diinternalisasikan nilai-nilai akhlak ke diri anak (jiwa seseorang), memungkinkan pendidik melakukan pembinaan akhlak.
Penjelasan ini kaitannya dengan akhlakul karimah ialah, bahwa kebiasaan yang baik bisa dibiasakan seoptimal mungkin, dengan niatan yang tulus, agar menjadi sebuah kebisaan yang selanjutnya dapat merasuk ke dalam hati sanubari manusia dan akhirnya menjadi watak pribadi yang mengagumkan, dan apabila diperlukan akan keluar dengan begitu mudah tanpa  melalui proses pemikiran melakukan kebaikan terlebih dahulu. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw dalam ayat berikut:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam : 4) [59]
Segala hal yang dituntut dalam dua pendekatan diatas sebenarnya bertujuan untuk membentuk pribadi seorang Muslim, dikarnakan seorang muslim yang berakhlaqul kharimah tidak akan bersikap pura-pura dalam perbuatannya untuk sekedar mendapat penghargaan sosial ataupun berharap pujian dari manusia. Segala perilakunya bersumber dari keyakinan dan sikap hidup untuk mencari ridha Allah semata. Aspek bathiniah inilah yang mewarnai dan mengiringi aspek dzahir. Lunturnya akhlaq ini telah menggeser umat dari posisi khairu ummah menjadi "buih", yang dengan mudahnya dicerai-beraikan oleh musuh-musuh Allah.
Atas landasan ini pula, sebenarnya sasaran utama untuk peningkatan akhlaq Islami (pribadi mulia) adalah dilakukan oleh pribadi muslim itu sendiri. Dalam skala pribadi perbaikan akhlaq akan membuat seorang muslim memiliki ketenangan dan kekuatan jiwa, dihormati dan diteladani oleh orang lain.
C. PENGARUH APLIKASI KURIKULUM BERBASIS PESANTREN  TERHADAP PEMBINAAN  KEPRIBADIAN SISWA
Sejauh ini, belum banyak pendidikan formal yang menyuguhkan mata pelajaran kepesantrenan atau kurikulum yang berbasis pesantren terhadap anak didiknya, hanya beberapa lembaga tertentu yang memang berada dibawah lingkungan yayasan pesantren saja yang menyelenggarakan hal semacam ini.
            Merupakan usaha para tokoh-tokoh tertentu (red- para ulama’) untuk menyatukan antara pendidikan formal dengan sentuhan kepesantrenan, serta untuk mengemban dakwah islamiah untuk mencetak generasi masa depan yang tak hanya ahli dalam bidang umum, namun lebih dari itu, mengerti dan memahami makna, serta mengaplikasikan ajaran islam dari berbagai literatur asli[60] yang dijadikan rujukan dalam membina anak-anak didiknya.
Usaha para guru dalam menerapkan kurikulum pesantren, yang diakui mampu mencetak seseorang sesuai dengan tujuan umum pendidikan islam ini, telah diadopsi kedalam lingkungan sekolah formal guna (dengan harapan) bisa mencetak generasi yang mampu mengemban dakwah dalam berbagai situasi di lingkungannya –khususnya siswa yang tidak menyantri- dengan berbekal ilmu agama yang didapatkan dari madrasahnya.
Diyakini ataupun tidak, pendidikan pesantren sampai saat ini telah mampu mengantarkan anak-anak didiknya ke jenjang kehidupan yang ideal, yang tak hanya dipandang dari segi material namun juga spiritual. Walaupun terkadang terdapat juga para jebolan pesantren yang tidak menjadi tokoh masyarakat dalam bidang religi (red- ulama’/ kyai) namun, dengan kepiwaiannya, ia mampu mengantarkan segala usaha dan amaliahnya sesuai dengan ajaran islam yang telah diperolehnya dari pesantren. Dengan landasan inilah, pesantren telah mampu mengubah sekaligus menggugah para orang tua untuk menyalurkan putra-putrinya masuk ke dalam pesantren dengan harapan dapat merubah putra-putrinya menjadi anak-anak yang shaleh dan shalihah. Walaupun tingkat keberhasilannya terkadang tidak sesuai dengan harapan yang dimimpikannya. Namun, paling tidak mereka (para putra-putrinya) telah memiliki bekal nilai-nilai agama yang telah dipelajarinya di pesantren.
Selanjutnya, dalam menanggapi masalah kekinian, di mana para remaja khususnya anak-anak didik di sekolah, telah tidak lagi didominasi oleh sikap dan watak yang tidak sesuai dengan ajaran  islam. Watak dan sikap mereka telah berubah dari masa ke masa ke arah kemerosotan moral yang semakin hari semakin sulit untuk dirubahnya. Hal ini, kurang lebih juga disebabkan oleh kurangnya pemahaman oleh siswa sendiri mengenai tujuan ia sekolah dan apa manfaat yang diperolehnya, namun, pokoknya ia ingin hidup senang dan bebas sesuai dengan kondisi keremajaannya. Maka oleh sebab itu, ini menjadi masalah yang tengah dihadapi oleh para orang tua, pendidik, dan lingkungan masyarakatnya. [61]
Dalam tataran inilah yang akhirnya memunculkan sebuah ide cemerlang yaitu dengan memasukkan (mengaplikasikan) berbagai kurikulum pesantren yang telah diyakini mampu merubah sikap dan watak moral perilaku manusia dari kebrutalan beralih ke watak dan moral yang islami, walaupun tidak seratus persen dapat menjamin keberhasilannya. Minimal, bagi mereka, anak-anak didik yang mendapat perhatian kurikulum berbasis pesantren, minimal telah memiliki bekal cinta terhadap agamanya yang nantinya setelah lulus sekolah akan diaktualisasikan dalam lingkungan masyarakatnya, sebagaimana yang telah terbukti di lembaga yang menjadi pusat penelitian penulis.
            Apabila dihubungannya dengan adanya pengaruh antara muatan mata pelajaran yang berbasis pesantren terhadap pembinaan kepribadian siswa, adalah bertitik pada pengaruhnya dalam pembinaan kepribadian siswa, yang diharapkan siswa memiliki kepribadian bernafaskan agama sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Hadist, melalui pendekatan literatur klasik kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren beserta bimbingan untuk mengaplikasikannya.
            Watak pribadi siswa yang diharapkan adalah memiliki akhlakul karimah, sesuai dengan misi dan visi tujuan pendidikan islam secara umum, nantinya akan dapat berperan di masyarakat sebagai seorang hamba Allah swt sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, yang dapat memberikan nilai-nilai islami di kalangan masyarakat.  Selain itu, juga tugasnya sebagai penerus perjuangan para Anbiya’ agar terus berjalan dan berkembang sepanjang masa dan agar tidak terputus oleh arus gelombang zaman yang semakin hari semakin dipermasalahkan umat ini.
            Masalah ini menjadi penting, sejalan dengan perkembangan zaman, yang  telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat untuk mengadopsi pola perilaku kehidupan serba mewah dan instan. Lebih-lebih di berbagai media masa, yang banyak mempertontonkan kehidupan glamour dan serba ala barat. Dan bahkan  seakan-akan telah menuhankan kehidupan serba mewah, yang jika tidak mewah akan merasa gengsi dan ketinggalan zaman
            Pola pemikiran semacam ini adalah pola pemikiran dan pemahaman yang benar-benar dangkal terhadap kehidupan duniai. Menurut pandangan Al-Quran, kehidupan dunia ini hanyalah fatamorgana dan senda gurau yang tiada artinya (kesenangan yang menipu). Dan segala sesuatu yang menjadi dambaan manusia yang diidam-idamkan seperti; perhiasan, kendaraan mewah, sawah ladang yang luas, gedung megah dan besar, dan lain sejenisnya adalah tiada gunanya. Sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah swt., di bawah ini:
           
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. Al-Hadid: 20) [62]
            Bagi orang yang berfikiran jernih dan sehat pasti tidak menginginkan kehidupan semacam ini, karna kehidupan semacam ini hanyalah permainan belaka. Pastinya akan menganggap, kehidupan semacam ini hanyalah kehidupan yang tidak jauh berbeda dengan perilaku anak kecil ingusan dan yang masih senang permainan-permainan menyenangkan, namun tidak  artinya sama sekali.
            Oleh sebab itu pula, sebagai alternatif dibutuhkan semacam metode khusus yang diusahakan bisa menetralisir kondisi-kondisi yang salah, yang telah merasuk kedalam pribadi-pribadi masyarakat, seperti keimanan yang rapuh, lemah dan tidak mengenal kebenaran hakiki, berfikir negatif, serta akhlak tercela,  dengan memakai dua metode pendekatan, yaitu; Pertama Ibtida’, yang (terutama) dikhususkan bagi anak yang sedang tumbuh dan para remaja dengan tujuan menanamkan tauhid dan jiwa-jiwa kemuliaan sedini mungkin. Dan kedua degan pendekatan Lanjutan yang diperuntukkan bagi para orang dewasa (kawula muda) dan kaum tua, dengan menjalankan Ilmu amaliah, amaliah ilmiah, istoqamah dan terakhir memperoleh Akhlaqul karimah (kepribadian yang unggul).
Masalah ini telah sekaligus menjadi tantangan kita untuk menjawab berbagai persoalan pendidikan yang muncul sejalan dengan perkembangan zaman, dan  juga sebagai koreksi untuk selalu meningkatkan daya juang dalam memperbaiki kualitas pribadi kita masing-masing, agama, dan bangsa, agar semakin hari semakin maju.


PENULIS ; AHMAD FATAHILLAH

Sony DSC-W310 12.1MP Digital Camera with 4x Wide Angle Zoom with Digital Steady Shot Image Stabilization and 2.7 inch LCD (Black)Sony DSC-W330 14.1MP Digital Camera with 4x Wide Angle Zoom with Digital Steady Shot Image Stabilization and 3.0 inch LCD (Blue)Sony DSC-W330 14.1MP Digital Camera with 4x Wide Angle Zoom with Digital Steady Shot Image Stabilization and 3.0 inch LCD (Silver)Sony DSC-S2100 12.1MP Digital Camera with 3x Optical Zoom with Digital Steady Shot Image Stabilization and 3.0 inch LCD (Black)Sony Cyber-shot DSC-H55 14.1MP Digital Camera with 10x Wide Angle Optical Zoom with SteadyShot Image Stabilization and 3.0 inch LCD (Black)Sony DSC-W330 14.1MP Digital Camera with 4x Wide Angle Zoom with Digital Steady Shot Image Stabilization and 3.0 inch LCD (Red)



[1] Drs. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, hal. 140

[2] Drs. Alex Sobur, Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hal. 299

[3] http://geocities.com/alquran_indo,  Al-Quran Digital dan Terjemahnya, versi 1.2, 2003. Contents/Al-Mulk :2

[4] Agus Mustofa, Membongkar  Tiga Rahasia, padma press, Surabaya, 2009, hal. 257

[5] Alex Sobur, ibid, hal. 301

[6] Alex Sobur, ibid, hal. 305-311


[7] Drs. Hanifudin Mahadun, M. Ag, dan Dra. Ida Hanif Mahmud, M. Pd.I., Bedah Otak; cinta dan kecerdasan; strtegi meningkatkan kecerdasan anak/ siswa, Offset, Bandung, cet II, 2007, hal. 46

[8] Prof. Dr. H. Jalaludin, Psikologi Agama; Memahami Prilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi, PT raja Grafindo, edisi Revisi, 2004, hal. 167

[9] Drs. Ngalim Purwanto, op.cit, hal. 11
[10] Dr. Abuddin Nata MA, op. cit, hal. 79

[11] Dr. Abuddin Nata MA, ibid, hal. 80

[12] Drs. Alex Sobur, op. cit, hal. 312

[13] Drs. Alex Sobur, ibid, hal. 313

[14] Drs. Hanifudin Mahadun, M.Ag dan Dra. Ida Hanif Mahmud, Mpd.I., Bedah Otak; cinta dan kecerdasan Strategi meningkatkan kecerdasan anak/siswa, Offset & Printing, cet. Ke-2, Bandung, 2007, hal. 46

[15] Drs. Ngalim Purwanto, op.cit, hal. 147

[16] Drs. Alex Sobur, loc. Cit, hal. 313. Dalam bahasa sainsnya hal ini dinamakan kode etik, (tempatnya berada dalam kromosom, inti sel) yang mana telah tersedia dalam diri setiap orang, yang fungsinya untuk mengatur segala macam aktivitas yang ada dalam tubuh manusia. Dan bahkan ada prediksi penelitan mutakhir, mengatakan bahwa kematian secara alami terdapat hubungan dengan kode etik ini. (lihat ket. Dalam Agus Mustofa, Mengubah Taqdir, padma press, Surabaya, 2007, hal158-160)
[17] Lihat selengkapnya dalam Drs. Hanifudin Mahadun, M.Ag dan Dra. Ida Hanif Mahmud, Mpd.I., op.cit, hal. 42-45

[18] Dr. Muhammad Usman Najati, Psikologi Nabi, (terj. Hedi Fajar) Pustaka Nur Hidayah/IKAPI,  Bandung, 2005, hal. 312
[19] Drs. Alex Sobur, op.cit, hal. 156
[20] Drs. Hanifudin Mahadun, M.Ag dan Dra. Ida Hanif Mahmud, Mpd.I., op.cit, hal. 47

[21]  Syekh Al-Zarnuji, Ta’limul Muta’llim, (terj. A. Ma’ruf Asrori dengan judul Etika belajar bagi penuntut ilmu),  Pelita Dunia, Surabaya, 1996, hal. 29

[22] Hadisnya berbunyi (yang artinya) Abu Musa meriwayatkan bahwa rasulullah saw berasabda: “Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk itu ibarat penjual minyak  wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak, atau kamu akan membeli minyak, atau kalau tiadak kamu akan mendapatkan aroma wangi darinya. Sementara pandai besi, bisa jadi akan membakar busanamu atau kamu akan menjumpai aroma tidap sedap darinya”. Dr. Muhammad Usman Najati, op. cit, hal. 314

[23] Dr. Muhammad Usman Najati, ibid, hal. 315
[24] Drs. Alex Sobur, M.Si. op. cit, hal. 507

[25] Ari Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, Arga, cet ke-6, Jakarta, 2004, hal. 41
[26] Dr. Muhammad Usman Najati, op. cit. hal. 314

[27] Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta, 1986, hal  847

[28] Dr. Muhammad Usman Najati, loc. Cit.

[29] Harun Yahya, Kedangkalan Pehaman Orang-Orang Kafir, Risalah Gusti, Edisi Resmi Indonesia, Surabaya, 2003, hal. 3

[30] Dr. Muhammad Usman Najati, op. cit. hal. 321

[33] Depag RI, op.cit, hal 163, lihat pula dalam http://geocities.com/alquran_indo, op.cit,  Contents/Al-Maidah :27-30

[34] Depag RI, ibid, haL 163, http://geocities.com/alquran_indo, ibid,  Contents/Al-Maidah :27-30


[35] Depag RI, ibid, haL 163, http://geocities.com/alquran_indo, ibid,  Contents/Al-Maidah :27-30


[36] Depag RI, ibid, hal163, http://geocities.com/alquran_indo, ibid,  Contents/Al-Maidah :27-30


[37] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Akhlaquna, (terjm. Dadang Sobar Ali), Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal. 88


[38] Muhammad bin Ibrahim al- Hamd, Maal Muallimin, (Terjm. Ahmad Syaikhu),  Darul Haq, Jakarta, 2002,  hal. 140


[39] DR. wahib Wahab, Harmoni Ramadhan, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2008, hal. 40

[40] Syekh Az-zarnuji, op.cit, hal. 12

[41] Syekh Az-Zarnuji, ibid, hal. 5

[42] Imam Al-Ghozali, Minhajul Abidin (terj. M. Arif  Sofyan dan Abu Sofia), Al-Hidayah, Surabaya, 2002, hal. 25-26


[43] DR. Wahib Wahab, op.cit, hal. 45-50

[44] DR. KH. Ali Maschan Moesa, Membangun kesalehan sosial individual melalui sufistik, Makalah seminar Nasinonal dan halaqah ilmiah Jamiyah Ahluth thariqah Al-Mu’tabarah Al-Nahdiyah, Mojokerto 08 Agustus 2007 di Wisma NU Kab. Mojokerto


[45]Depag RI, op.cit, hal 700, lihat pula dalam http://geocities.com/alquran_indo, op.cit,  contents, Fathir : 28

[46]Depag RI, op.cit,  hal. 14,  lihat pula dalam http://geocities.com/alquran_indo ibid, contents, Al-Baqarah : 31

[47] Syekh Az-zarnuji, op.cit, hal 7

[48] Imam Al-Ghozali, op.cit, hal. 18
 [49] Imam Al-Ghozali, ibid, hal. 60
[50] Imam Al-Ghozali , ibid, hal. 21

[51] Imam Al-Ghozali, Lo.cit.


[52] Depag RI, op.cit, hal 928.  http://geocities.com/alquran_indo,  op.cit, index, ilmu/ Etika ilmu/ Pengamalan orang yang berilmu.


[53] Syekh Al-Zarnuji, op.cit, hal. 12

[54] Syekh Al-Zarnuji, Ibid, hal 10

[55] Depag RI, op.cit, hal 777.  lihat pula dalam http://geocities.com/alquran_indo,  op.cit, content 41/ Fushilat:30

[56] Imam  Al-Ghozali, Mukasyafatul Qulub, (terjm. Muhammad Nuh Lc. Dengan  judul Mempertajam mata bathin dan indra ke enam), Mitra Press, Jakarta, 2007, hal. 177-179

[57] http://riwayat.wordpress.com/2008/01/25/,  op.cit, 03 04 2009

[58] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, op.cit, hal. 89

[59] Depag RI, op.cit, hal. 960.  http://geocities.com/alquran_indo,  op.cit, content 68/ Al-Qalam: 4
[60] literatur asli yang dikaji merupakan  usaha para guru untuk menggali ajaran agama islam dari berbagai kitab klasik, dalam kitab-kitab klasik tersebut tak lepas dari penafsiran dan pejlentrehan para mushannifnya (pengarang -dalam hal ini, khususnya yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah-) dari Al-Quran dan Al-Hadist.

[61] Ajaran islam yang berhaluan aslussunnah wal jama’ah, berbeda dengan pelopor penegak islam garis keras di masa ini.

[62] Depag RI, op. Cit, hal. 903

Comments :

0 comments to “TEORI MODERN SOAL PEMBINAAN KEPRIBADIAN SISWA”

Post a Comment